Prof. Kazuhito Fujiyama (kiri) dan Prof. Hiroyuki Ohta (tengah) sedang mempresentasikan penelitiannya |
Seorang pembicara dari Ibaraki University, Jepang, Prof. Hiroyuki Ohta, membedah tuntas bagaimana kita bisa memproduksi biofuel dari Sweet Shorgum. Kalau di Indonesia para praktisi biofuel sebagian besar masih berkutat tentang bagaimana caranya memproduksi biofuel etanol dari sumber-sumber hayati, profesor dari Jepang ini lebih memilih "meninggalkan" etanol untuk biofuel. Beliau lebih concern terhadap produksi biofuel alternatif, yaitu butanol yang ternyata potensinya jauh lebih besar dibanding etanol. Biofuel butanol memiliki kandungan energi lebih tinggi dibanding etanol, tekanan uap lebih rendah, memiliki rasio air-to-fuel menyerupai gasoline, dan cocok dengan desain mesin kendaraan sekarang. Peneliti Jepang ini mengembangkan produksi butanol dari bakteri anaerob yang diidentifikasi sebagai genus Clostridium, yang mengubah gula (sugar) atau pati (starch) menjadi solvent.
Suasana peserta Semnas Bioteknologi di Ruang Auditorium Pascasarjana UGM, Lantai V Gedung Sekolah Pascasarjana UGM |
Lain profesor dari Ibaraki University, lain pula profesor dari Osaka University, Jepang, Prof. Kazuhito Fujiyama. Fujiyama tertarik mengembangkan Silkworm (ulat sutera) menjadi "pabrik" protein untuk kebutuhan farmasi (obat-obatan). Dan ternyata, penelitian ahli ekspresi protein dari Jepang ini didukung penuh oleh pemerintahnya karena usut punya usut pemerintah Jepang merasa was-was akan keberlangsungan industri ulat sutera di negaranya, yang dari tahun ke tahun mengalami penurunan, dari lebih dari 2 juta petani ulat sutera di tahun 1929 menjadi hanya 621 pada tahun 2012. Menurut peneliti Jepang ini, Silkworm memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai bioreaktor produksi protein rekombinan, terutama produk farmasi (misalnya interferon). Kelebihan Silkworm sebagai pabrik protein rekombinan dibanding sumber lain (misalnya sel E.coli, insect cell, dll) menurut Fujiyama adalah karena potensi keberhasilan ekspresinya hampir 100 persen (bandingkan dengan keberhasilan ekspresi protein rekombinan di sel E.coli yang hanya sekitar 60 persen atau sel serangga lain yang hanya 80 persen)! Selain itu di dalam Silkworm, ada mekanisme pasca translasi (proses protein dimodifikasi sehingga menjadi mirip dengan produksi di sel alaminya seperti tahap glikosilasi, dll). Bagi protein yang berasal dari organisme eukariot, proses modifikasi pasca translasi sangat diperlukan agar protein tidak kehilangan keaktifannya.
Melihat "ulah" peneliti Indonesia dalam poster ilmiah |
Ada juga Profesor Widya Asmara dari Universitas Gadjah Mada yang dengan sangat menarik mengupas tuntas perkembangan virus influensa di dunia, khususnya di Indonesia beserta upaya pencegahan dan penanggulangannya. Profesor senior di UGM ini juga memberikan pengetahuan tentang bagaimana kita mengembangkan vaksin influensa dan potensinya untuk dikomersialisasikan. Terungkap data bahwa vaksin influensa untuk manusia di Indonesia cenderung "tidak laku", karena "kesaktian" orang-orang Indonesia, disamping sangat mudahnya virus influensa bermutasi sehingga WHO mewajibkan vaksin virus ini harus dievaluasi secara rutin setiap enam bulan. Berbeda ketika vaksin influensa dikembangkan untuk unggas, nilai ekonomisnya sangat tinggi, sehingga ramai diperebutkan.
Selain tiga pembicara di atas, sedikitnya terdapat 47 makalah ilmiah yang masuk ke meja panitia. Sebagian besar makalah ini dipresentasikan secara oral melalui sesi khusus, selain ada juga sebagian yang dipresentasikan dalam bentuk poster. Sebenarnya penulis ingin mengupas tuntas beberapa "ulah" para peneliti bidang Bioteknologi dari Indonesia ini, namun keterbatasan waktu dan kesempatan jualah yang membuat penulis kesulitan menuangkannya dalam mimbar ini. Mudah-mudahan di lain kesempatan bisa dituangkan sesi kelanjutannya.
Menjadi bagian dari praktisi Bioteknologi adalah sebuah amanah yang membanggakan |